![]() |
Foto: Ilustrasi |
KabarMadina.com - Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengungkapkan bahwa praktik premanisme yang dilakukan oleh oknum Organisasi Masyarakat (Ormas) telah menjadi gangguan serius bagi produsen minyak goreng di Indonesia. Aksi pemalakan ini terjadi di berbagai lokasi pabrik, terutama di daerah, dan kerap dipandang sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) oleh sejumlah produsen.
“Di berbagai lokasi pabrik, gangguan dari organisasi komunitas setempat atau masyarakat sekitar sudah menjadi hal biasa. Perusahaan pun akhirnya melayani permintaan mereka dan menganggapnya sebagai CSR,” ujar Sahat dalam keterangannya.
Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Oknum-oknum ini tidak hanya meminta uang secara rutin, tetapi juga memaksa perusahaan untuk memberikan dana dalam berbagai kesempatan, termasuk saat perayaan ulang tahun organisasi mereka. “Setiap event pasti ada yang minta. Bahkan saat ulang tahun, mereka membawa surat permintaan. Jika ditolak, bisa menimbulkan masalah. Daripada ribet, perusahaan pun memilih memberikan ala kadarnya,” tambahnya.
Dampak pada Investasi Asing. Sahat menegaskan bahwa praktik semacam ini tidak hanya merugikan perusahaan lokal, tetapi juga berdampak pada minat investasi asing. Investor asing, menurutnya, enggan masuk ke Indonesia karena melihat maraknya aksi premanisme yang tidak terkendali.
“Perusahaan asing pasti tidak mau datang jika melihat kondisi seperti ini. Mereka cenderung keras dalam menolak praktik semacam ini. Jika tidak diladeni, ya sudah, mereka memilih tidak berinvestasi,” jelas Sahat.
Seruan untuk Penegakan Hukum yang Tegas. GIMNI mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam menangani masalah ini. Sahat menekankan pentingnya regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang konsisten untuk mengatasi aksi premanisme oleh oknum Ormas.
“Harapannya, pemerintah perlu mengedukasi mereka agar lebih tertib hukum. Misalnya, dengan menetapkan aturan tegas yang melarang siapapun memasuki area perusahaan tanpa izin. Jika hal itu diterapkan, situasinya akan jauh lebih baik,” ujarnya.
Namun, Sahat menyadari bahwa perubahan tidak bisa terjadi secara instan. Dibutuhkan pendekatan bertahap, termasuk melalui edukasi kepada masyarakat. “Perlu waktu dan proses. Edukasi harus dilakukan pelan-pelan agar masyarakat lebih tertib. Tidak bisa langsung drastis,” katanya.
Mentalitas Instan Jadi Akar Masalah
Lebih lanjut, Sahat menyoroti bahwa aksi pemalakan ini tidak semata-mata disebabkan oleh kurangnya lapangan pekerjaan, melainkan oleh mentalitas yang ingin mendapatkan uang dengan cara instan. “Mereka cenderung mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang,” tutupnya.
Dengan kondisi ini, GIMNI berharap pemerintah dapat segera mengambil langkah konkret untuk menciptakan iklim usaha yang lebih aman dan kondusif, demi menarik minat investasi serta mendukung pertumbuhan industri minyak nabati di Indonesia. (YN)
0 Comments