Usulan Solusi Untuk Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal Atas Penyelesaian Persoalan Plasma di Pantai Barat Mandailing Natal

KabarMadina.com - Tidak menjadi sebuah keharusan untuk memberikan solusi terhadap Pemkab aras sebuah permasalahan, namun demi rakyat dan kemaslahatan, hal itu harus dilakukan.

Wilayah Pantai Barat Kabupaten Mandailing Natal (Madina) memiliki potensi besar di sektor perkebunan kelapa sawit, namun di saat yang sama sejumlah perusahaan besar belum melaksanakan kewajiban kemitraan inti-plasma secara optimal dengan masyarakat sekitar. Permasalahan ini muncul sebagai hambatan bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, terutama di kecamatan seperti Natal, Muara Batang Gadis, Batahan.
Contoh nyata:

PT Dinamika Inti Sentosa (PT DIS) di Desa Tabuyung menuntut realisasi plasma 20 %. 

PT Palmaris Raya belum memenuhi janji kebun plasma 200 ha untuk empat desa di Kecamatan Batahan sejak 2008. 

PT Rendi Permata Raya (PT RPR) di Desa Singkuang I masih dalam konflik karena masyarakat menilai perusahaan belum memberi kebun plasma sesuai yang dijanjikan. 

PT Gruti Lestari Pratama (PT GLP) selama lebih dari 20 tahun beroperasi namun masyarakat menilai kewajiban plasma belum terpenuhi. 


Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun regulasi telah mengatur kemitraan inti–plasma, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Pemerintah Kabupaten Madina perlu mengambil langkah strategis untuk memastikan hak masyarakat lokal terpenuhi.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana kondisi pelaksanaan fase kemitraan inti-plasma oleh perusahaan sawit di Pantai Barat Madina, khususnya PT DIS, PT Palmaris Raya, PT RPR, dan PT GLP?

Apa hambatan utama yang menyebabkan perusahaan-tersebut belum memenuhi kewajiban plasma masyarakat?

Apa solusi konkrit yang dapat diusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Madina untuk menyelesaikan persoalan plasma di wilayah tersebut?

3. Tujuan Kajian

Menganalisis kondisi aktual kemitraan inti–plasma di wilayah Pantai Barat Madina dengan fokus pada perusahaan yang bermasalah.

Mengidentifikasi kendala dan hambatan implementasi dari sisi perusahaan, masyarakat, dan pemerintah daerah.

Mengusulkan strategi dan kebijakan yang dapat diambil oleh Pemerintah Kabupaten Madina untuk penyelesaian tegas dan tuntas persoalan plasma.

4. Manfaat Kajian

Bagi masyarakat lokal: menyediakan dasar usulan dan referensi agar hak atas kebun plasma dapat direalisasikan.

Bagi Pemerintah Kabupaten Madina: menjadi acuan untuk kebijakan, regulasi dan kontrol terhadap perusahaan perkebunan sawit.

Bagi perusahaan: sebagai cerminan dan rekomendasi untuk memperbaiki tata kelola kemitraan, meningkatkan reputasi dan kepatuhan hukum.

Bagi akademisi dan lembaga pemerhati agraria: menambah literatur terkait kemitraan inti-plasma dan tantangan di wilayah Pantai Barat Madina.

II. Tinjauan Teoritis dan Kerangka Hukum 

 1. Konsep Kemitraan Inti–Plasma

Kemitraan inti–plasma adalah skema di mana perusahaan perkebunan (inti) menjalin kerjasama dengan masyarakat atau petani plasma untuk pengelolaan lahan perkebunan. Dalam skema ini masyarakat memperoleh akses lahan kebun, modal, pelatihan, dan pengelolaan bersama dengan perusahaan. Tujuannya agar manfaat ekonomi perkebunan juga dirasakan oleh masyarakat lokal — bukan hanya sebagai buruh atau pihak terpinggirkan.
Namun dalam praktik ditemukan berbagai kelemahan seperti beban modal yang besar bagi plasma, kurangnya transparansi, partisipasi terbatas dari masyarakat, dan pengawasan pemerintah yang lemah.

 2. Dasar Hukum

Beberapa regulasi penting yang relevan:

Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan → Pasal 58 menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan wajib memfasilitasi kebun masyarakat atau kemitraan.

Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Peraturan Pemerintah dan perizinan perkebunan yang mengatur bahwa sebelum perpanjangan HGU/IUP, kewajiban kemitraan plasma harus dilaksanakan.

Regulasi daerah – Pemerintah Kabupaten Madina memiliki tugas dalam pengawasan kemitraan inti–plasma, verifikasi HGU dan penegakan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar. 

3. Kerangka Analisis

Kajian ini menggunakan pendekatan multidimensi:

Dimensi legal/regulasi: Kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban kemitraan inti–plasma dan implementasi regulasi di tingkat lokal.

Dimensi institusional/governance: Peran Pemkab Madina, DPRD, Dinas terkait, masyarakat dalam pengawasan, mediasi dan penegakan.

Dimensi sosial-ekonomi: Dampak keterlambatan/ketidakrealisasian plasma bagi masyarakat; distribusi manfaat; kesejahteraan petani.

Dimensi implementasi/teknis: Hambatan pengukuran HGU, pembebasan lahan, konflik lahan, kapasitas masyarakat sebagai plasma, transparansi perusahaan.

III. Kondisi Empiris di Pantai Barat Kabupaten Mandailing Natal

 1. Perusahaan yang Bermasalah & Fakta Lapangan 

a) PT Dinamika Inti Sentosa (PT DIS)

Masyarakat Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis, meminta agar PT DIS menunaikan kewajiban plasma 20% dari HGU dan memperlihatkan dokumen HGU serta legalitas perusahaan. 

Perusahaan memiliki izin lokasi seluas 6.250 ha, namun hingga saat ini baru sekitar 3.100 ha yang dibebaskan masyarakat dan dikerjakan perusahaan — sisanya terbentur pembebasan lahan dan klaim masyarakat. 

Masyarakat menilai proses kemitraan kurang transparan: koperasi desa kurang aktif dalam pembebasan lahan, dan perusahaan belum menunjukkan komitmen lingkungan dan sosial yang memadai.

b) PT Palmaris Raya

Perjanjian dengan masyarakat empat desa di Kecamatan Batahan tahun 2008 tentang pembangunan kebun plasma seluas 200 ha hingga 2025 belum terealisasi. 

Legalitas perusahaan dan status HGU di wilayah reportedly masih dipertanyakan: lahan ~2.800 ha diklaim tanpa HGU oleh perusahaan; operasi sejak 2006. 

c) PT Rendi Permata Raya (PT RPR)

Di Desa Singkuang I, Kecamatan Muara Batang Gadis, masyarakat menuntut hak plasma dari luas HGU ~3.741 ha perusahaan. 

Aksi unjuk rasa oleh warga telah beberapa kali dilakukan karena perusahaan belum memberi kepastian atau realisasi fisik plasma. 

d) PT Gruti Lestari Pratama (PT GLP)

Perusahaan berizin luas ~3.915,04 ha; berdasarkan regulasi harus menyediakan sekitar 20% (~783 ha) plasma. Namun hingga kini hanya sebagian kecil (~151 ha di Desa Bonda Kase) yang terealisasi. 

Titik koordinat HGU dan lahan plasma dipertanyakan masyarakat. 

 2. Hambatan Utama

Pembebasan lahan yang belum selesai: banyak enclave masyarakat, klaim lahan adat, konflik internal yang mempersulit perusahaan menyelesaikan kemitraan. (PT DIS contoh)

Kurangnya transparansi perusahaan terhadap dokumen HGU, MoU kemitraan, dan realisasi kebun plasma — masyarakat merasa tidak cukup dilibatkan.

Pemerintah daerah belum sepenuhnya melaksanakan verifikasi ulang HGU secara independen, dan pemberian sanksi terhadap perusahaan yang menunda masih lemah.

Partisipasi masyarakat plasma lemah — koperasi desa sering tidak siap, modal/untung belum jelas, beban finansial berpotensi tinggi (misalnya di kasus PT RPR).

Tumpang tindih izin/perizinan dan kelemahan pengawasan lingkungan: contoh PT RPR yang membuka hutan alam tanpa dokumen Amdal. 

3. Dampak Negatif 

Masyarakat lokal belum merasakan manfaat ekonomi dari perkebunan yang berada di wilayah mereka, sehingga kesejahteraan belum meningkat secara signifikan.

Timbul rasa ketidakadilan dan kekecewaan dalam hubungan masyarakat-perusahaan-pemerintah, yang dapat memicu konflik sosial dan agraria.

Reputasi perusahaan dan pemerintahan daerah terancam apabila kewajiban kemitraan tidak ditegakkan.

Potensi kerusakan lingkungan dan kehilangan peluang pengembangan yang adil bagi masyarakat lokal.

 IV. Usulan Solusi Untuk Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal

Berikut usulan strategis yang dapat diambil oleh Pemerintah Kabupaten Madina untuk menyelesaikan persoalan plasma yang melibatkan perusahaan-tersebut.

A. Penguatan Regulasi dan Pengawasan

1. Verifikasi Independen HGU & Realisasi Plasma

Bentuk Tim Verifikasi Kabupaten yang melibatkan BPN, Dinas Perkebunan, Inspektorat, LSM dan wakil masyarakat untuk memverifikasi ulang HGU dan status kemitraan inti-plasma dari perusahaan seperti PT DIS, PT Palmaris Raya, PT RPR, PT GLP.

Publikasikan hasil verifikasi: luas HGU, target plasma, realisasi, tunggakan.

2. Sanksi dan Insentif

Tetapkan sanksi bertahap: SP I, SP II, SP III, hingga moratorium atau pencabutan izin perusahaan yang terbukti ingkar kewajiban (relevan untuk PT Palmaris Raya, PT RPR).

Berikan insentif kepada perusahaan yang patuh: kemudahan perizinan, penghargaan publik, prioritas program pemerintah.

 3. Pelibatan Masyarakat & Transparansi

Pastikan perusahaan wajib mengunggah data kemitraan inti–plasma (luas lahan, jumlah petani plasma, progres) di portal publik kabupaten.

Bentuk pos pengaduan di kecamatan di Pantai Barat agar masyarakat dapat melaporkan perusahaan yang menunda kewajiban.

4. Pengkondisian Perpanjangan Izin

Sebelum perpanjangan HGU/IUP perusahaan, diwajibkan menyelesaikan kewajiban plasma sesuai persentase yang diatur.

Pemerintah daerah harus memasukkan klausul kemitraan plasma dalam kontrak izin.

B. Implementasi Kemitraan yang Berkeadilan 

1. Model Kemitraan Optimal

Perusahaan (seperti PT DIS, PT GLP) diwajibkan menyediakan paket lengkap: lahan plasma, pelatihan, akses modal, pemasaran bagi petani plasma.

Pemerintah daerah membantu pembentukan koperasi desa mitra plasma agar masyarakat dapat berperan sebagai pengelola real, bukan hanya tenaga kerja.

 2. Monitoring Rencana Kerja Kemitraan

Setiap perusahaan menyusun “Road-map Kemitraan Plasma” yang mencantumkan target tahunan — e.g., penanaman, panen perdana, jumlah plasma, distribusi manfaat.

Pemerintah kabupaten melakukan monitoring semester dan mempublikasikan laporan publik.

3. Penyelesaian Kasus Tertunda Sebagai Prioritas

Prioritas: perusahaan dengan tunggakan lama (PT Palmaris Raya, PT DIS, PT RPR) harus diselesaikan dengan mekanisme mediasi yang difasilitasi Bupati, DPRD, masyarakat.

Buat jadwal penyelesaian yang jelas dan target waktu untuk penyelesaian (misalnya 12 bulan).

C. Pemberdayaan Masyarakat Lokal

1. Pelatihan & Kapasitas Petani Plasma 

Pemkab bersama perusahaan dan LSM menyelenggarakan pelatihan agribisnis, manajemen kebun, koperasi, pemasaran.

Dorong pembentukan koperasi plasma yang sehat dan transparan.

2. Distribusi Manfaat yang Adil

Petani plasma harus memperoleh bagian hasil yang wajar dari produksi, bukan hanya simulasi.

Pemerintah kabupaten melakukan survei periodik terhadap kesejahteraan petani plasma untuk mengukur keberhasilan kemitraan.

3. Sosialisasi Hak Agraria Masyarakat

Pemkab menggelar forum desa secara berkala di wilayah Pantai Barat agar masyarakat paham mengenai hak mereka dalam kemitraan inti–plasma, HGU, dan mekanisme pengaduan.

D. Sinergi Antar Pemangku Kepentingan

1. Forum Rutin Kemitraan

Bupati membentuk forum rutin (6 bulan) yang melibatkan Pemkab, perusahaan sawit (PT DIS, PT Palmaris, PT RPR, PT GLP), masyarakat desa terdampak, LSM, DPRD.

Forum ini memonitor kemajuan, membahas hambatan, merumuskan solusi dan menghasilkan laporan publik.

2. Audit Independen & Akuntabilitas 

Lembaga independen (misalnya perguruan tinggi atau konsultan) diminta melakukan audit kemitraan (termasuk alokasi lahan plasma, distribusi manfaat) terhadap perusahaan bermasalah.

Hasil audit dipublikasikan sebagai bagian dari akuntabilitas publik.

3. Insentif Positif untuk Perusahaan Patuh

Perusahaan yang menunjukkan kemajuan nyata dalam kemitraan plasma diberi penghargaan publik dan diprioritaskan dalam program pemerintah daerah (logistik, pelatihan, akses investasi).

V. Rencana Tindak Lanjut dan Rekomendasi Strategis

 Tahapan Pelaksanaan

 Tahap 1 (0-6 bulan):

Pembentukan Tim Verifikasi HGU/Plasma.

Publikasi daftar perusahaan sawit di Pantai Barat Madina dengan status kemitraan/plasma.

Mediasi awal dengan perusahaan bermasalah — PT DIS, PT Palmaris, PT RPR, PT GLP — bersama masyarakat dan Pemkab.

Tahap 2 (6-18 bulan):

Pelaksanaan pengukuran ulang HGU, audit kemitraan inti–plasma.

Penandatanganan perjanjian kemitraan yang baru atau revisi oleh perusahaan bermasalah.

Pelaksanaan program pelatihan dan pemberdayaan petani plasma.

Monitoring dan laporan semester pertama.

Tahap 3 (18-36 bulan):

Evaluasi hasil kemitraan: distribusi manfaat, kesejahteraan masyarakat plasma.

Insentif/penghargaan kepada perusahaan patuh; tindakan sanksi kepada yang belum.

Replikasi model kemitraan sukses ke seluruh wilayah kabupaten.

Indikator Keberhasilan 

Persentase perusahaan sawit yang telah menyerahkan kebun plasma ≥ 20% dari HGU sesuai regulasi.

Jumlah petani/plasma aktif yang mengelola lahan dan mendapat manfaat nyata.

Tersedianya data terbuka kemitraan inti–plasma dan tingkat pengaduan masyarakat menurun.

Berkurangnya konflik agraria atau aksi unjuk rasa terkait plasma.

Terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat plasma (pendapatan, sarana, akses peluang).

Rekomendasi Khusus untuk Pemerintah Kabupaten Madina 

Segera keluarkan Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati yang menegaskan kewajiban kemitraan plasma minimal 20% dan sanksi apabila tidak terpenuhi.

Fokus penyelesaian kasus lama yang paling bermasalah: PT Palmaris Raya (200 ha), PT DIS (6.250 ha izin lokasi tetapi realisasi belum memadai), PT RPR (3.741 ha HGU belum plasma), PT GLP (3.915 ha HGU belum terpenuhi ~628 ha).

Integrasikan pengawasan kemitraan inti–plasma ke dalam sistem e-perizinan kabupaten agar ketika IUP/HGU diperpanjang, status kemitraan harus terpenuhi atau ada jaminan tertulis.

Tingkatkan keterlibatan masyarakat melalui forum desa dan tim advokasi kemitraan plasma agar aspirasi mereka masuk ke kebijakan daerah.

Pastikan transparansi data kemitraan dalam media publik, agar masyarakat dapat mengakses dan memantau progres perusahaan.

VI. Kesimpulan

Persoalan kemitraan inti–plasma pada perkebunan kelapa sawit di Pantai Barat Kabupaten Mandailing Natal merupakan masalah multi-dimensi yang melibatkan regulasi, governance, hak masyarakat, dan kesejahteraan ekonomi. Empat perusahaan utama — PT DIS, PT Palmaris Raya, PT Rendi Permata Raya, PT Gruti Lestari Pratama — menjadi contoh nyata perusahaan yang hingga kini belum memenuhi kewajiban plasma secara memadai.
Melalui penguatan regulasi, implementasi kemitraan yang adil, pemberdayaan masyarakat, serta sinergi antara pemerintah-perusahaan-masyarakat, Pemerintah Kabupaten Madina memiliki peluang besar untuk menyelesaikan persoalan ini dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pantai Barat. Kunci keberhasilan adalah komitmen tegas, transparansi, dan akuntabilitas dari semua pihak.

Oleh : Farhan Donganta (Ketua IYE Madina)

0 Comments